Filosofi Lodaya (Harimau Jawa)

Sampurasun ki Sunda




Meluruskan pemahaman yang salah tentang filosofis Lodaya (Maung) dalam penamaannya, terlepas daripada Lodaya Khodam, ingon-ingon Prabu Siliwangi Si Tablo ataupun Penjelmaan Prabu Siliwangi atau para ponggawanya ngahyang jaradi Maung :) :) :) puguh da Karuhun teh Seba atawa Munjung Ka Maung

Dalam Ilmu Cipaku Manusia dibedakan menjadi dua, Jelema dan Manusa. Jelema wujudnya bisa saja berbentuk Manusa tapi dalemannya bisa Sato / Hewan, yang buang kotoran sembarangan, kalau manusia buang kotoran ditempatnya, nggak sembarangan. Makin susah mencari manusia teh, kebanyakan wujudnya aja manusa tapi dalemannya sato.
Kalau Manusa mah mipit kudu amit ngala kudu menta, mengambil yang hak nya aja, yang bukan haknya ngak akan berani ngambil, kalau Sato / Hewan makan sesuka hati rumput orang, daun orang lain juga dimakan, kata kasepuhan mah sato mah sagala dihakan, begitu juga yang suka memakan yang bukan hak-nya itulah Sato bukan Manusia. 

Jadi dalam Terminologi Kabuyutan Cipaku dibagi dua "Manusa dan Jelema", Manusa yang berperikemanusiaan, Jelema isinya jelmaan, wujudnya saja Manusia tapi dalamnya bukan Manusia bisa diisi berbagai entitas dari Sato / Hewan, Dedemit, Setan, Siluman, dll. Saat ini kata kasepuhan Kabuyutan Cipaku makin susah mencari Manusa.

Lain Eroh teh, Mulih ka Jatina Mulang Ka Asalna, atau ketika Sang Atma meninggakan Raga (lihat Sewaka Darma 499), piraku ngadon ngahyang jaradi MAUNG. hee,,,,hee..hee.

Di dalam masyarakat Sunda sehari-hari, apabila berkunjung ada etika atau tata krama untuk menyampaikan Salam, yaitu "Punten" atau "Sampurasun". Punten berarti Punta Nagara dan harus di jawab dengan "Mangga" yang berarti Ma Hyang Galuh (Mayang Galuh/Perempuan Galuh). Pernyataan tersebut merupakan bentuk pengingat (pangeling-ngeling) yang diabadikan dalam bentuk budaya etika. Budaya ini menjadi bentuk etika kehidupan bermasyarakat, bentuk pemaknaan mengenai sejarah dan penghormatan kepada leluhur (para karuhun), yaitu dua dinasti SUNDA - GALUH.

Lodaya (Harimau Jawa) berasal dari Kata La - Da - Ya (bahasa Sangsakerta/Cacarakan), apabila disatukan menjadi Ja La, hal ini merupakan bentuk sindiran untuk seorang Raja Sunda yaitu Pangeran Putanjala / Patanjala / Raja Agung di Galunggung I, yang berkedudukan di Gunung Puntang (Punta Hyang / Punta Nagara). Punta Nagara merupakan pembawa misi Dinasti Sunda, yang dimulai dari : 
- SRI BIMA (Sangkuriang), 
- PUNTA (Punta Jala), 
- NARAYANA (Sanjaya), 
- MADURA (Rakryan Pikatan/Rakryan Warok) dan 
- SURADIPATI (Airlangga/Arya Lingga Ràja Putra Prabu Udayana - asal kata dari Sundayana).




Lebih jauh Budayawan Sunda dan Juga Dosen Art Kang Lucky Hendrawan dari ITB menjelaskan Maung atau Harimau diambil dari kata MANG (cahaya Putih) - ANG (Cahaya Merah) - UNG (Cahay Hitam), Cahaya Purwadaksina. Bila kata MANG - ANG - UNG disatukan menjadi MAUNG.

Silahkan cari video visulanya di youtube penjelasannya : 



Setiap orang boleh/bisa jadi memiliki pandangan sendiri dalam menilai Filosofis dan Kebudayaan suatu bangsa, namun yang lebih memahami nilai filosofis dan kebudayaan bangsa Nusantara, adalah kita sendiri, karena kita resmi pewaris resmi kebudayaan Nusa - antara.


Cag ah Salam Santun...

Baca Juga :

2 komentar:

  1. Kang, punten. Itu foto dari buku apa ya? Terimakasih

    BalasHapus
  2. sampurasun kang manawi teu ka abotan nyuhunkeun no hp abdi hoyong silaturahmi ieu no abdi +6281317593217

    BalasHapus