SEJARAH KERAJAAN GALUH (Lanjutan 4)

Niskala Wastukancana, Pembuat Parit di Kawali
Dikarenakan putra mahkota, anak lelaki Lingga Bhuwana Wisesa, masih kecil, Kerajaan diperintah sementara oleh adik Lingga Bhuwana Wisesa, yakni Patih Mangkubhumi Suradipati. Setelah dinobatkan menjadi raja, Suradipati bergelar Sang Prabu Bunisora (disebut juga Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora). Raja ini memerintah selama 14 tahun (1357-1371) dan berkedudukan di Kawali. Bunisora pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung. Setelah wafat, ia dikenal dengan nama Sang Mokteng Geger Omas (Yang dikebumikan di Geger Omas).

Bunisora memiliki dua anak lelaki bernama Giridewata (lahir tahun 1347) dan Bratalegawa (lahir 1350), dan beberapa anak gadis di antaranya Banawati dan Mayangsari. Giridewata, yang memang kurang berhak meneruskan Kerajaan Sunda, kemudian menjadi penguasa Cirebon Girang. Sementara itu, Bratalegawa memilih hidup menjadi saudagar; dan ia berhasil dalam menjalankan bisnisnya dan memiliki banyak kapal dagang serta sejumlah peristirahatan baik di lereng gunung maupun di pantai. Sebagai pedagang, Bratalegawa banyak bepergian ke manca negara, seperti Sumatera, Semenanjung Melayu, Campa, Cina, Srilangka, India, Persia, bahkan hingga ke Arab. Di negara-negara yang dikunjunginya, Bratalegawa banyak berkenalan dan bersahabat dengan para pedagang di negera bersangkutan. Bahkan ketika berada di Gujarat, India, ia memiliki rekan bisnis bernama Muhammad. Muhammad ini kemudian menikahkan Bratalegawa dengan anak gadisnya, Farhana. Bratalegawa pun masuk Islam dengan nama baru Haji Badaruddin al-Jawi. Dapat dikatakan, dialah orang Sunda yang pertama menjadi Muslim; sekitar satu abad sebelum Wali Sanga menyebarkan Islam di Tanah Jawa.

Ada pun setelah Bunisora mangkat, yang memegang tampuk pemerintahan selanjutnya adalah putra mahkota anak Lingga Bhuwana Wisesa, yaitu Niskala Wastukancana. Ketika tragedi Pasunda Bubat, usia Wastukancana baru 9 tahun dan merupakan satu-satunya ahli waris Kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal di Bubat. Setelah cukup usia, Wastukancana dinobatkan menjadi raja pada 1371 ketika berusia 23 tahun. Prabu Wastukancana-lah yang membuat Prasasti Kawali yang berjumlah 6 buah. Berikut adalah bunyi Prasasti Kawali I, II, III, IV, dan V.

“Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu (yang) berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit (di) sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia. Janganlah dirintangi, janganlah diganggu, yang memotong akan hancur, yang menginjak akan roboh. Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang. Sang Hyang Lingga Bingba. Demikianlah.”

Prasasti Kawali ini dengan jelas menegaskan bahwa pusat pemerintahan berada di Kota Kawali (mangadeg di Kuta Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa. Raja inilah yang memperindah keraton Surawisesa di Kawali dan membuat parit (buat pertahanan) di Kawali. Oleh naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis oleh Ki Raga dari Srimanganti-Cikuray, Surawisesa disebut sebagai keraton yang memberikan ketenangan hidup (dalem sipawindu hurip). Oleh naskah Pustaka Nusantara, keterangan tentang Kawali dan Surawisesa ini diperkuat, malah ada tambahan bahwa ayahnya pun (berarti Lingga Bhuwana yang gugur di Bubat) bertakhta di Kawali.

“Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnyapun bertahta sebagai maharaja di situ juga.”

Membuat parit di sekeliling kota (marigi sakuriling dayeuh) adalah ide Wastukancana guna membuat pertahanan kota, untuk kepentingan militer, karena raja-raja Sunda sebelumnya seperti Banga dan Dharmasiksa pernah membuat hal serupa di kota Pakuan. Wastukancana takut bila sewaktu-waktu negaranya diserang oleh bangsa atau kerajaan lain, mungkin oleh Majapahit yang pernah menghancurkan ayahandanya. Demikian pentingnya pembuatan parit itu, maka Raja Wastukancana merasa perlu mengabadikannya dalam prasasti. Karena penting “agar unggul dalam perang” dan juga mengerahkan rakyat-tentara yang jumlahnya pasti banyak, Wastukancana mengingatkan bahwa barang siapa yang mengganggu maka akan “hancur dan roboh”.

Perihal membuat parit ini, ternyata ditenggarai bahwa di sepanjang wilayah selatan dan timur-laut Kabupaten Bandung banyak terdapat bekas parit pertahanan. Bukan itu saja, naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) banyak menyebutkan hal-hal yang menyangkut bidang kemiliteran atau peperangan. Simaklah sebagian bunyinya.
“Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyailah panglima perang.”

Walau hingga kini belum diketahui sebagian arti dari kata-kata dalam naskah tersebut, akan tetapi naskah tersebut memberitaku kita, bahwa masyarakat Sunda kuno telah mengenal taktik dan senjata militer yang cukup memadai. Sanghyang Siksakandang Karesian pun memperingatkan bahwa apabila rakyat diperintah untuk: bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja, hendaknya ia : “jangan marah-marah, jangan munafik, jangan resah dan uring-uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya.”

Juga, Kropak 632 atau Amanat Galunggung memuat hal-hal yang berkaitan dengan parit dan perang.
“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi (almarhum).”

Niskala Wastukancana memerintah dalam waktu yang panjang sekali dan hampir tak mungkin, yaitu selama 104 tahun, dari tahun 1371 hingga 1475. Pada masanya, kehidupannya sosial pun menjadi perhatian. Ia memperingatkan kepada rakyatnya yang gemar berjudi agar meninggalkan kebiasaan buruknya. Ini sesuai dengan bunyi Prasasti Kawali VI, yaitu:

“Ini peninggalan dari (yang) kokoh (dari) rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi (karena) bisa sengsara.”

Wastukancana menikah dua kali, yaitu dengan Nay Ratna Lara Sarkati, anak dari Resi Susuklampung, sebagai permaisuri pertama. Setelah itu, ia pun menikah dengan sepupunya (putri sulung Bunisora), Nay Ratna Mayangsari. Dari Lara Sarkati lahirlah Sang Haliwungan (Susuktunggal). Dari Mayangsari lahir Ningratkancana (Dewa Niskala). Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Prabu Wastukancana disebut juga Prabu Wangisutah. Wastukancana setelah meninggal bergelar Sang Mokteng Nusalarang ring Giri Wanakusumah karena dikebumikan di Nusalarang di Gunung Wanakusumah.


Dewa Niskala, Ayah Sri Baduga

Setelah Niskala Wastukancana wafat, kerajaan dibagi dua. Susuktunggal diberi kuasaan atas wilayah sebelah barat, Kerajaan Sunda-Pakuan; sedangkan Ningratkancana diberi kekuasaan atas wilayah timur Citarum, yakni Galuh. Dengan demikian, “negara kembar” ini terbagi kembali. Sementara Susuktunggal memerintah di Pakuan, Dewa Niskala (Ningratkancana) memerintah Galuh selama 7 tahun (1475-1482). Hubungan kakak-adik ini kemudian diperkuat oleh perkawinan kedua anak mereka. Putri Susuktunggal bernama Kentring Manik Mayangsunda dinikahkan dengan Sri Baduga, anak Dewa Niskala.

Syahdan, ketika Majapahit pada masa Kertabhumi atau Bhre Wijaya (Brawijaya V) mengalami keruntuhan karena serangan Demak tahun 1478, banyak rombongan-pelarian dari Majapahit yang mengungsi ke Priangan. Salah satunya ada yang sampai di Kawali, yaitu Raden Baribin, saudara seayah Kertabhumi. Kehadiran Baribin diterima baik oleh Prabu Dewa Niskala (Ningratkancana). Baribin bahkan dijodohkan dengan puteri bungsu Dewa Niskala yang bernama Ratna Ayu Kirana (adik raden Banyak Catra atau Kamandaka, yang jadi raja-daerah di Pasir Luhur). Tak hanya itu, Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang wanita pengungsi dari Jawa Timur itu yang kebetulan telah bertunangan. (Carita Parahyangan menyebutnya “estri larangan ti kaluaran”). Memang, sejak peristiwa Pasunda Bubat, bagi kerabat keraton Galuh-Kawali (Sunda) merupakan hal tabu bila beristrikan kerabat keraton Majapahit. Pun, menurut aturan waktu itu, wanita yang telah bertunangan dilarang menikah dengan laki-laki lain dengan pengecualian bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Maka dalam hal ini, Dewa Niskala melanggar dua “peraturan” sekaligus; dan sebagai raja hal tersebut dianggap dosa besar.

Melihat perbuatan saudaranya yang dinilai memalukan dinasti-keluarga, Susuktunggal di Pakuan mengancam hendak memisahkan kekerabatan dengan Galuh di Kawali. Namun, ketegangan tersebut cair melalui keputusan bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri sebagai raja. Dewa Niskala menyerahkan takhta Galuh kepada puteranya, Jayadewata (Sri Baduga), Susuktunggal menyerahkan takhta Sunda juga kepada Jayadewata, menantu sekaligus keponakan. Kerajaan warisan Wastukencana pun berada dalam satu tangan kembali, di tangan cucunya sendiri yang kelak menjadi raja besar di seluruh Tatar Sunda, Sri Baduga Maharaja. Dewa Niskala sendiri setelah wafat dikebumikan di daerah Gunatiga dan bergelar Sang Mokteng Gunatiga.

Baca Juga :

Tidak ada komentar