Mungkinkah Makom Karomah Kampung Dukuh Itu Adalah Makom Ayahnya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan???

1. NAPAK TILAS HISTORIS KAMPUNG DUKUH CIKELET PAMEUNGPEUK

Kampung Dukuh konon didirikan oleh Syeikh Abdul Jalil. Seorang ulama dari Sumedang di era kekuasaan Bupati Rangga Gempol 2 / Pangeran Panembahan abad 16-17 Masehi. 


Perkawinan Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) dengan Sembah Ajeng Tangan Ziah melahirkan dua orang anak :
1. Syekh Abdul Muhyi
2. Nyai Kodrat(menjadi isteri Syekh Khotib Muwahid).


Karena kecewa akan janji Bupati untuk menerapkan syariat Islam di tatar Sumedang yang tak pernah terlaksana, akhirnya dia mengasingkan diri di Cikelet, Garut Selatan. Di situlah Syeikh Abdul Jalil membuka Kampung Dukuh berikut adat istiadatnya. Makamnya terletak di sisi timur Kampung Dukuh.

Kala itu, Syeikh Abdul Jalil, penduduk Nusa Jawa, menimba ilmu di tanah suci Mekah. Setelah ilmunya cukup, gurunya meminta agar Syeikh Abdul Jalil pulang ke kampung halamannya. Namun Syekh keberatan, dengan alasan ingin menghabiskan sisa hidupnya di Mekah. Guru Syekh maklum dengan itikad baik muridnya. Namun ia tetap berharap supaya muridnya itu kembali ke tanah air.

Untuk itu, beliau memberinya segenggam tanah dan Sekendi Air Suci dari Mekah (Air Zamzam). Syekh Abdul Jalil merupakan sosok yang taat dan patuh terhadap gurunya. Dan pada akhirnya, Syekh pun menerima semua permintaan gurunya. Selanjutnya, sang guru berpesan supaya tanah tersebut ditaburkan di tempat yang dianggap cocok dengan nuraninya, sementara air di dalam kendi di tanam di tanah tersebut. Syaikh Abdul Djalil menyetujui, lalu ia kembali ke Mataram.

1.1 Menjadi Penghulu
Pada suatu waktu, di daerah Sumedang yang saat itu diperintah oleh penguasa bernama Rangga Gempol 2 sedang membutuhkan seorang penghulu. Bahkan Rangga Gempol 2 sampai mengirim utusan hingga ke Mataram. Oleh penguasa Mataram, ditunjuklah Syekh Abdul jalil untuk menjadi penghulu di daerah Sumedang. Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi penghulu di Sumedang, namun dengan satu permintaan. Yakni agar Bupati dan rakyatnya bersatu-padu dan saling bahu-membahu dan tidak boleh melanggar aturan hukum dan sara (Al Quran dan As sunnah).

Syarat itu pun disanggupi oleh Rangga Gempol 2. Setelah Syeikh Abdul Jalil menjabat sebagai penghulu selama 12 tahun, ia berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan Rangga Gempol 2 mengijinkan. Ketika Syekh Abdul Jalil sedang berada di tanah suci Mekah, penguasa Sumedang kedatangan utusan dari Banten dengan maksud meminta agar penguasa Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.

Mendengar keinginan dua utusan dari Banten itu, Rangga Gempol 2 tidak langsung memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan terjadi huru-hara di Sumedang.

Setelah sekian lama di Mekah, Syekh Abdul Jalil kembali ke tatar Sumedang. Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syekh Abdul Jalil. Namun informasi tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangan kanannya yang bernama Sutawijaya. Mendengar laporan itu, Syekh Abdul Jalil marah dan sat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu. Selanjutnya ia pergi dari Sumedang dan mengembara ke daerah Batuwangi Singajaya Garut dan menetap selama kurang lebih 3,5 tahun.

Selama itu, Syekh Abdul Jalil terus berdoa agar ditunjukkan sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian Syekh Abdul Jalil mengembara lagi ke daerah Tonjong Cisanggiri, Pameungpeuk.

Di tempat itu, Syekh Abdul Jalil menetap kurang lebih 1,5 tahun. Tepat pada hari Jumat Kliwon, 12 Mulud tahun Alif, Syekh Abdul Jalil melihat cahaya terang yang menyorot dari dalam tanah kira-kira sebesar pohon kawung (aren).

Melihat kejadian itu, Syeikh bergegas menghampiri asal cahaya. Ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah yang ditempati sepasang suami-istri yang sedang berladang. Belakangan diketahui bahwa peladang bernama Aki Chandra dan Nini Chandra yang berasal dari Cidamar Cianjur. Konon tempat itulah yang kemudian menjadi Kampung Adat Dukuh.

Ketika Syekh Abdul Jalil datang, keduanya langsung menyerahkan tempat tersebut. (Hal dikarenakan pada waktu pangeran Geusan Ulun Wilayah Pameungpeuk termasuk wilayah Sumedang larang. Penj.). Selanjutya, Nini dan Aki Chandra kembali ke daerah asalnya di Cidamar, Cianjur. Penduduk Cidamar sangat menyayangkan sikap Aki dan Nini Chandra yang kembali ke kampung halaman. Seharusnya, Aki dan Nini Chandra tetap tinggal di tempat itu dan menimba ilmu dari Syekh Abdul Jalil. Rupanya, saran penduduk Cidamar itu bisa diterima, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Namun di tengah perjalanan, Aki dan Nini Chandra meninggal dunia dan dimakamkan di Palawa Chandra Pamulang.

1.2 Keturunan Dukuh Pantang Jadi PNS
Kampung Dukuh merupakan salah satu perkampungan tradisional (kampung adat) yang masih menganut kepercayaan nenek moyang, masyarakat masih mematuhi Kasuaran Karuhun (tabu atau nasihat leluhur). Dan kuatnya memegang aturan inilah yang membuat Kampung Dukuh masih lestari.

Beberapa tradisi yang hingga kini kerap dilaksanakan diantaranya upacara Moros, yaitu salah satu manisfestasi masyarakat Kampung Dukuh dengan memberikan hasil pertanian kepada pemerintah menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.

Selain itu, ada juga ritual Ngahaturan Tuang. Kegiatan ini dilakukan masyarakat Kampung Dukuh atau pengunjung yang berasal dari luar apabila mereka memiliki keinginan-keinginan tertentu seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, dengan cara memberikan banan makanan seperti garam, telur ayam, kelapa, kambing atau barang dan mahluk lainnya sesuai kemampuan Nyanggakeun.

Nah, Nyangggakeun ini merupakan suatu kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada kuncen untuk diberkahi. Masyarakat tidak diperbolehkan memakan hasil panen sebelum melakukan kegiatan nyanggakeun. Ada juga upacara Tilo Waktos. Ritual ini hanya dilakukan oleh Kuncen yaitu membawa makanan ke dalam Bumi Alit atau bumi Lebet untuk tawasul. Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Alit lalu berdoa, dilakukan pada hari raya 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulid, dan 10 Muharam.

Kemudian ritual Manuja, yaitu penyerahan bahan makanan dari hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkahi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk maksud perayaan Mares. Kebiasaan menyerahkan hasil bumi yang dimiliki kepada aparat pemerintah seperti Lurah dan Camat.

Selain itu dikenal pula upacara Cebor Opat Puluh, yaitu mandi dengan empat puluh kali siraman dengan air dari pancuran dan dicampur dengan air khusus yang telah diberi doa-doa pada jamban umum. Lalu upacara ziarah yang merupakan suatu aktifitas keagamaan yang berbentuk ziarah ke makam Syekh Abdul Jalil tetapi sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan dan menggunakan pakaian yang tidak bercorak.

Upacara Shalawatan dilakukan pada hari Jumat di rumah Kuncen. Shalawatan dilaksanakn sebanyak 4444 yang dihitung dengan menggunakan batu Sebelasan. Dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca Marekah, Terbang Gembrung. Kegiatan terbang gembrung ini dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para orang tua Kampung Dukuh. Ada pula upacara Terbang Sajak, merupakan suatu pertunjukkan pada saat perayaan seperti khitanan, dan pernikahan, ditampilkan pertunjukkan debus.

Selain hal di atas, terdapat beberapa hari besar di Kampung Dukuh seperti 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulid, dan 10 Muharam. Sedangkan hari-hari penting diantaranya, Sabtu (pelaksanaan ziarah), Rebo Welasan (hari terakhir bulab Sapar dimana semua sumber air, yang digunakan masyarakat diberi jimat sebagai penolak bala, dan biasanya diwajibkan mandi), dan 14 Maulud tanggal ini dipercaya sebagai hari baik untuk menguji dan mencari ilmu kepada guru dengan melakukan cebor opat puluh.


1.3 Pantangan Adat Kampung Dukuh
Ada beberapa larangan (tabu) yang harus dipatuhi masyarakat Kampung Dukuh. Yang pertama, adalah tabu berdagang. Jadi, istilah jual beli tidak dikenal, yang ada yaitu sebutan ngagentosan (mengganti). Berdagang makanan matang dianggap pelanggaran berat. Namun seiring dengan terjadinya perubahan sosial, di Dukuh Landeuh sudah ada warung yang berjualan kebutuhan sehari-hari seperti jajanan anak-anak, garam, minyak tanah, dan lain-lain.

Kuncen membolehkan mereka berdagang, namun tidak boleh mencari untung besar dari dagangannya itu dan niatnya adalah membantu warga dalam memenuhi keperluannya. Namun berdagang makanan matang hasil masakan sendiri tetap dilarang. Kadang ada pedagang yang datang dari luar juga. Kalau orang kampung Dukuh ingin berdagang bebas harus di luar Kampung Dukuh karena larangan hanya berlaku di dalam Kampung Dukuh.

Larangan kedua adalah menjadi pegawai negeri atau PNS. Konon, Syekh Abdul Jalil kecewa karena dibohongi atasannya (Bupati Rangga Gempol) yang dianggapnya sebagai ambtenaar (pegawai negeri) sehingga sejak itu ia bersumpah keturunannya tidak akan ada yang boleh menjadi pegawai negeri. Itu sebabnya pula, Syekh Abdul Jalil melarang orang berdagang karena menurutnya berdagang dekat dengan kebohongan dan selalu mencari keuntungan. Satu hal yang aneh, bahwa keturunan Habib bebas menjual minyak wangi kepada para pengunjung ziarah.

Larangan ketiga adalah memelihara binatang berkaki empat seperti sapi, kerbau, dan kambing. Jadi, umumnya penduduk beternak unggas seperti ayam, bebek, dan itik. Namun sejalan dengan tuntutan perubahan, di Dukuh Landeuh sudah ada yang memelihara kambing.

Selain tabu-tabu tersebut, masyarakat juga harus memenuhi aturan dalam melakukan upacara di makam karomah yaitu ziarah ke makam karomah hanya dilakukan setiap hari Sabtu. Ketika memasuki areal makam laki-laki harus berpakaian sarung, baju takwa, dan totopong (ikat kepala), sedangkan perempuan harus mengenakan samping/sinjang (kain), kebaya, dan kerudung, dan dilarang mengenakan pakaian dalam, perhiasan, dan sandal/ sepatu.

Selain itu, tidak boleh memakai pakaian bermotif (seperti batik), bordiran, kaus , atau kemeja (hem). Selama berada di makam, tidak boleh merokok, meludah, dan kencing; harus selalu memiliki wudu, tidak boleh membunuh binatang dan merusak pepohonan yang ada di areal makam. Ada yang dilarang masuk ke areal makam yaitu: pegawai negeri, orang yang berpacaran, dan wanita yang sedang haid.

Masyarakat Kampung Dukuh juga sangat menjaga lingkungan hidupnya. Mata air yang terletak di lokasi karomah dipelihara kebersihannya dalam rangkaian upacara jaroh (ziarah) setiap hari Sabtu. Penduduk tidak pernah kekurangan air meskipun musim kemarau. Mata air juga terdapat di leuweung (hutan) larangan.

1.4 Keunikan Kampung Adat Kampung Dukuh
Kampung Dukuh adalah kampung adat yang memiliki keunikan tersendiri. Pola kehidupan sarat nilai-nilai luhur. Masyarakatnya hidup di rumah-rumah panggung yang sederhana. Bangunan berwujud empat persegi panjang dari kayu atau bambu beratap daun ilalang yang dilapis ijuk. Semua bangungan menghadap ke Barat dan Timur. Di sinilah kesahajaan hidup plus tata nilai yang tulus dalam peradaban masih bisa disaksikan.

Memang, rumah-rumah panggung itu hanya boleh menghadap ke Barat dan Timur. Adalah pantang bagi mereka membuat pintu yang menghadap ke Utara. Tak jelas benar apa alasannya. Namun ciri itu menciptakan satu keseragaman yang unik. Selain itu, Masing masing rumah memiliki halaman memanjang seperti jalan setapak yang membujur di muka dan di belakangnya.

Secara geografis, Kampung Dukuh terletak pada ketinggian 390 mdpl dengan suhu rata-rata 26 derajat celcius. Secara administratif, kawasan ini terletak di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, dengan batas-batas sebelah Utara Kampung Palasari (Desa Karangsari), sebelah Selatan Kampung Cibalagung (Desa Cijambe), sebelah Timur Kampung Nangela (Desa Karangsari), dan sebelah Barat Kampung Ciawi (Desa Cijambe).

Kampung Dukuh berjarak 101 km dari ibukota Garut dan 160 km dari Bandung sebagai ibukota provinsi. Kampung ini berada di lembah Gunung Dukuh yang dekat mata air. Bentuk bangunan seperti disebut di atas merupakan ketentuan adat dan keharusan yang tidak boleh dilanggar. Sehingga bila dilihat dari atas pegunungan, maka pemandangan Kampung Dukuh tampak bagai kotak-kotak mungil yang tertata rapi dan indah.

Di dalam kawasan Kampung Dukuh terdapat 42 rumah dan sebuah bangunan Mesjid. Terdiri dari 40 Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang untuk Kampung Dukuh Dalam dan 70 kepala keluarga untuk Kampung Dukuh Luar. Mata pencaharian utama adalah bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau, memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.

Kampung adat ini memiliki luas 10 ha dengan jumlah penduduk 450 jiwa, yang tergabung ke dalam 90 KK. Terdiri dari dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Dalam dan Dukuh Luar. Di sebelah Timur kampung ini terdapat satu pranata lain yang juga dihormati. Yakni sebuah pemakaman yang disebut dengan "Makam Karomah" (tanah larangan). Itulah makam pendiri Kampung Dukuh dan kerap diziarahi masyarakat dari berbagai tempat. Hanya saja, tak sembarangan orang boleh memasukinya. Hari ziarah pun ditentukan hanya Sabtu dengan aturan-aturan khas. Ketiganya dibatasi oleh pagar yang terbuat dari kayu dan bambu.

Saat ini, kedudukan Kampung Dukuh sebagai pusat adat hanya merupakan sebuah kampung dari 18 kampung dalam kapunduhan Ciroyom. Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan kampung adat sangat lemah sekali dibandingkan kedudukan Desa yang menjalankan sistem administrasi pemerintahan negara.

Belum lagi bila dibandingkan dengan kedudukan dalam satu kawasan ulayat yang terdiri dari dua desa, yaitu Karangsari dan Cijambe. Hal ini membuat komunitas adat ini makin terjepit dan nyaris hanya jadi sekedar monumen saja. Akan tetapi, secara spiritual, karomah Kampung Dukuh masih tetap besar. Masyarakat di dalam kawasan ini masih bangga mengakui sebagai komunitas Dukuh yang tetap mengikuti pola hidup secara adat.


1.5 Hidup Sederhana
Keunikan Kampung Dukuh adalah keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukimannya. Terdiri beberapa puluh rumah yang tersusun pada kemiringan tanah yang bertingkat. Setiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari Barat ke Timur. Kampung Dukuh merupakan wilayah dengan suasana alam dan budaya religi kuat. Masyarakat disini memiliki pandangan hidup berdasar pada "Sufisme Mazhab Imam Syafii". Landasan budaya tersebut mempengaruhi bentuk fisik wilayah tersebut serta adat istiadat masyarakat. Masyarakatnya pun sangat menjunjung harmonisasi dan keselarasan hidup.

Paham itulah yang membawa pengaruh pada penerapan budaya hidup sederhana. Tengoklah pada bentuk bangunan di Kampung Dukuh yang tidak menggunakan dinding dari tembok dan atap dan genteng serta jendela kaca. Ini menjadi salah satu aturan yang dilatar-belakangi alasan bahwa hal yang berbau kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat menjadi tidak harmonis.

Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik. Sebab barang-barang semacam itu dipercaya selain ada manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar lagi. Alat makan yang dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat dari bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran.

Pada hari Kamis, 5 Oktober 2006, kampung ini mengalami kebakaran hebat. Sebanyak 51 dari 96 bangunan yang ada terbakar bersama isinya. Benda pusaka yang disimpan

di Panyepenan ikut musnah pula. Para sepuh Kampung Dukuh menyebut musibah itu sebagai ”geus nepi kana ugana” (sudah sampai kepada uga-nya). Hal ini berpegang pada ramalan masyarakat Kampung Dukuh yang berbunyi : ”Di ahir jaman bakal loba parahu/Urang Dukuh mah makena parahu belang. (Di akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai perahu belang).”

Uga atau ramalan yang disebutkan para tokoh masyarakat adat Dukuh tersebut ditafsirkan, bahwa suatu saat nanti, orang Dukuh akan mengalami kehancuran dan setelah hancur akan tumbuh kembali setelah datang Ratu Adil yang membangun kembali Dukuh.


1.6 Mengenal Pak Uluk, Kuncen Kampung Dukuh

Nada bicaranya lugas dan tak ada kesan terpaksa. Asap rokok kretek dari mulutnya terus menerus mengepul bagaikan kereta api. Rokok agaknya menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap tarikan nafasnya. Dengan bahasa Sunda yang meledak-ledak, Mama Luluk menyampaikan wejangan-wejangan kepada warganya. Dan itulah ciri khasnya.

Pak Uluk bernama asli Lukman. Pria berusia 65 tahu ini menjabat Kuncen Kampung Dukuh mewakili generasi ke-14. Jabatan kuncen dalam adat istiadat kampung ini merupakan amanah turun temurun. Di pundak lelaki yang masih tampak muda inilah segala hal menyangkut Kampung Dukuh dibebankan. Mulai mengurus makam leluhur Syeikh Abdul Djalil hingga memimpin rapat-rapat warga, menjadi tugasnya.

Jabatan kuncen dalam ranah adat Kampung Dukuh berasal dari seseorang bernama Eyang Dukuh. Diceritakan bahwa sebagai pendiri Kampung Dukuh, Syekh Abdul Jalil mempunyai pengawal setia bernama Eyang Hasan-Husen. Hasan Husein ini tiada lain adalah putera kandung dari Syeikh Abdul Jalil.

Nah, untuk tugas-tugas sehari-hari, Eyang Dukuh kemudian diberi tugas sebagai pelaksananya. Bahkan Syekh Abdul Djalil secara turun temurun, telah memberi amanah untuk merawat dan menjaga makamnya bila ia dan keturunannya meninggal dunia kelak.

Eyang Dukuh ini juga mewarisi amanah untuk meneruskan nilai-nilai dan adat-istiadat Kampung Dukuh. Dan setelah Syeikh Abdul Jalil wafat, Eyang Dukuh-lah yang secara otomatis kemudian menjadi Kuncen Kampung Dukuh.

Istilah kuncen dalam masyarakat Kampung Dukuh merupakan pemimpin dan pemegang tradisi Kampung Adat Dukuh sebagai warisan dari ajaran Syeikh Abdul Jalil.

Adapun tugas kuncen antara lain melakukan Munjungan, yakni membawa makanan ke Bumi Alit (rumah peninggalan Aki dan Nini Chandra). Kemudian makanan tersebut dibacakan do'a supaya mendapat berkah bagi pribadi kuncen maupun bagi peziarah dan para tamu. Dalam seminggu, pelaksanaan munjungan dilaksanakan pada hari Sabtu ba’da Dzuhur. Hari Minggu dilaksanakan pagi, Senin ba’da Dzuhur, Selasa dilaksanakan pagi, hari Kamis pada Sore, dan Jumat pada pagi hari.

Tugas kuncen lainnya adalah memimpin ziarah pada hari Sabtu, menjadi imam salat di masjid, serta memimpin acara ritual hari besar Kampung Dukuh yang jatuh setiap 14 Maulid. Selain itu, juga menurunkan ilmu kepada masyarakat kampung dan para tamu. Lalu menjaga dan merawat benda pusaka, memberi doa pada air suci untuk kepentingan tamu dan berdoa semalam penuh sampai menjelang subuh. Dan terakhir adalah memimpin musyawarah kampung.

Dalam keseharian, Mama Luluk menghuni rumah adat yang berukuran lebih besar dari rumah-rumah lainnya. Mengapa lebih besar? ”Sabab di dideu mah sok dipungsikeun kangge sagalana. Mimiti musawarah, narima tamu, nepi sagala hal. (Sebab di sini suka dipergunakan sebagai tempat musyawarah, menerima tamu dan semua urusan),” tutur Mama Luluk kepada penulis.

Dan sebagai kuncen, terang Mama Luluk, tugasnya terbilang tidak ringan. Selain tugas-tugas yang telah disebutkan di atas, tugas lainnya adalah menjaga keseimbangan alam dan menjadi pengawal norma-norma adat.

Karena itulah dalam keseharian, Mama Luluk selalu mengenakan pakaian adat. ”Ieu mah tos janten tugas abdi, kedah dilaksanakeun sesuai parentah. (Ini sudah menjadi tugas saya dan harus dilaksanakan sesuai perintah),” ujarnya.



2. PERJALANAN DAKWAH SPIRITUAL SYEKH ABDUL MUHYI PERNAH SINGGAH DI KAMPUNG DUKUH CIKELET GARUT SELATAN

 

Kebanyakan dari kita hanya mengetahui bahwa Syekh Abdul Jalil lah satu-satunya waliyullah yang mengembalikan kemurnian Islam di Garut Selatan khususnya Kampung Dukuh. Namun ternyata setelah saya membuka beberapa literatur sejarah tentang Islam di Tanah Sunda umumnya dan Garut Selatan pada khususnya, ternyata Syekh Abdul Muhyi Pamijahan memilki peran yang tiada ternilai jasanya dalam penyebaran Islam di Garut Selatan.

Syeikh Haji Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orang tuanya di kota Gresik atau Ampel. Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Ampel. Karena ketekunannya menuntut ilmu disertai dengan ibadah disamping kesederhanaan dan kewibawaan yang menempel di dalam diri dia maka tak heran jika teman-teman sebaya selalu menghormati dan menyeganinya.

Pada saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh atau Kuala untuk berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu dari tahun 1090-1098 Hijriah atau 1669 -1677 Masehi. Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.

Ketika sampai di Baitullah, Syeikh Abdulrauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdulrrauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.

Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syeikh Abdur Rauf sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah kejadian itu, Syeikh Abdurrauf membawa mereka pulang ke Kuala atau Aceh tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana. Sebelum berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III.

Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun (1678-1685 M). Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.

Disamping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdurrauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.



2.1 Syekh Abdul Muhyi Tibalah Di Kampung Dukuh
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pameungpeuk, tepatnya di daerah Cikelet yang diapit oleh kedua sungai Cimangke dan Cipasarangan (Garut Selatan). Di sini dia bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah Lebe Warta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.

Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiuh dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M). Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.

Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati. Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo'a kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa.

Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tharekat.

2.2 Nasab Syeikh Abdul Muhyi

Garis Ayah :
1.   Prabu Suwela / Raja Prabu Guru Manikmaya
2.   Sri Mahapunggung / Raja Suraliman
3.   Resi Kandiawan
4.   Resi Gentayu / Wretikandayun 
5.   Lembu Amiluhur / Sempakwaja
6.   Panji Asmarabangun / Purbasora  
7.   Rawisrengga / Wijaya Kusumah
8.   Prabu Lelea / Permana di Kusumah / Ki Ajar Padang
9.   Prabu Ciung Wanara /  Rd. Suratoma.
10. Kidang Kancana
11. Prabu Lingga Hyang
12. Prabu Lingga Wesi
13. Prabu Susuk Tunggal / Sang Haliwungan 
14. Prabu Banyak Larang
15. Prabu Banyak Wangi / Mundingsari I
16. a. Prabu Mundingkawati / Prabu Lingga Buana / Munding Wangi (Raja yang tewas di Bubat) b. Prabu Borosngora / Buni Sora Suradipati / Prabu Kuda lelean berputra : Ki Gedeng Kasmaya.
17. Prabu Wastu Kencana / Prabu Niskala Wastu Kancana / Prabu Siliwangi I
18. Prabu Anggalarang / Prabu Dewata Niskala / Jaka Suruh (Raja Galuh / Kawali) 
19. Prabu Jaya Dewata / Raden Pamanah Rasa / Sri Baduga Maha Raja / Prabu Siliwangi II
20. Prabu Surawisesa
21. Prabu Dewata Buanawisesa / Ratu Puhun
22. Pangeran Kuda Lanjar
23. Mudik Cikawung Ading
24. Entol Penengah
25. Sembah Lebe Warta Kusumah
26. Syeikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan



Garis Ibu:
1. Nabi Muhammad Saw
2. Sayyidina Ali karromah Allahu wajhahu dan Fatimah Az zahra’
3. Sayidina Husein As.
4. Sayyidina Ali Zaenal Abidin Ra.
5. Muhammad Al Baqir
6. Ja'far Ashodiq
7. Ali AI'Aridhi
8. Muhammad
9. Isa Al basyari
10. Ahmad Al Muhajir
11. Ubaidillah
12. 'Uluwi
13. Ali Kholi'i Qosim
14. Muhammmad Shohibul Murobath
15.‘Uluwi
16. Abdul Malik
17. Abdullah Khona
18. Imam Ahmad Syah
19. Jamaludin Akbar
20. Asmar Kandi Gisik Karjo Tuban
21. Ishak Makdhum
22. Muhammad Ainul Yaqin
23. Sunan Giri Laya
24. Wira Candera
25. Kentol Sumbirana
26. Rd. Ajeng Tanganziah
27. Syeikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan.


Keturunan (Istri dan Anak) Syeikh Abdul Muhyi
Dari istri pertama Bahta :
1. Syekh Abdullah
2. Dalem Bojong
3. Syekh Faqih Ibrahim
4. Nyi Madya Kusumah

Dari istri kedua Fatimah :
1. Syekh Kiai Nadzar
2. Syekh Atam
3. Nyi Raden Usim
4. Nyi Raden Arunah
5. Nyi Raden Hatisah

Dari istri ketiga Selamah :
1. Kiai Bagus Muhammad
2. Nyi Raden Siti
3. Nyi Raden Ajeng

Dari istri keempat Winangun :
1. Nyi Raden Candra
2. Nyi Raden Ajeng Enur
3. Nyi Raden Jabaniah
4. Nyi Raden Ajeng Nidor
5. Raden Bagus Atim
6. Raden Ali Akbar.


2.3 Mungkinkah Makom Karomah Kampung Dukuh Itu Adalah Makom Ayahnya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan ?


Mencermati alur sejarah dakwah Syekh Abdul Muhyi ke daerah Garut Selatan pada tahun 1685 hingga 1686 (selama setahun) adalah sesuatu hal yang mungkin bahwa makom karomah yang terdapat di Kampung Dukuh tersebut adalah Makomnya Sembah Lebe Warta Kusumah yakni ayahandanya Syekh Abdul Muhyi yang memiliki nasab ke Prabu Ciung Wanara / Rd. Suratoma.

Dalam catatan tentang Syekh Abdul Jalil Makam Karomah Kampung Dukuh dijelaskan dalam bahasa Sunda bahwa Dina abad ka-17, Rangga Gempol II bupati Sumedang anu harita masih di handapeun kakawasaan Mataram, anjeunna ngajukeun paménta sangkan Sultan Mataram nunjuk salah saurang hakim atawa kapala agama di Sumedang ku sabab nalika éta téh jabatan eukeur kosong ku sabab hakim saenggeusna tilar dunya. Sultan méré lolongkrang yén ulah jauh-jauh néangan panggantina lantaran jalma anu bisa ngagantikeuna téh aya di hiji désa anu aya daérah Pasundan., ahirna kapanggih éta jalma téh nyaéta syékh Abdul Jalil pamingpin hiji pasantrén, tapi aya saratna nyaéta ulah ngarempag syara saperti ngabunuh, ngarampog, jeung ngalacur. Lamun ngarempag éta syara anjeunna bakal léngsér dina jabatana. Salila 12 taun sanggeus éta pengukuhan jabatan téh euweuh anu ngarempag kana éta syara. Hiji mangsa Rangga Gempol II kacida rongkah nepi ka nitah Jagasatru ngabunuh ka éta utusan ti Banten, tapi lila kalilaan ahirna kapanggiheun ku syékh Abdul Jalil anu ahirna anjeunna mundur tina jabatana. Sanggeus kajadian éta syékh Abdul Jalil téh indit ninggalkeun Sumedang tuluy ngalanglang buana nepi ka anjeunna ménta pituduh ka Gusti Alloh sangkan dibéré tempat anu pantes pikeun nenangkeun haté, pikir jeung nyebarkeun agama Islam. Tanggal 12 Mulud nalika syékh Abdul Jalil nuju tapakur di Tonjong, anjeunna meunang pituduh di langit aya cahaya sagedé galuguran kawung téh ngabelesat tuluy murag ka hiji tempat di daérah antara walungan Cimangké jeung Cipasarangan nyaeta namina KAMPUNG DUKUH, tepatna ti mimiti taun 1685.

Dan hingga kini catatan tentang Syekh Abdul Jalil pun sangat sulit ditemukan baik langsung ke sumber pustakaan karatonan Sumedang Larang ataupun kepustakaan lainnya. Oleh karenanya bisa jadi bahwa Syekh Abdul Jalil merupakan nama samaran dari nama ayahandanya Syekh Abdul Muhyi yakni Sembah Lebe Warta Kusumah.





Oos Supyadin, penulis adalah asli turunan Dukuh, Cikelet, Garut Selatan & Dedi E Kusmayadi Soemamihardja NKSL Sumedang.

Mungkin benar adanya bahwa Syekh Abdul Jalil Kampung Dukuh yang menurut sejarah Sumedang dimasa pamgeran Rangga Gempol 2 / Pangeran Panembahan bertugas sebagai penghulu itu adalah Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah ayahnya Syekh Muhyi Pamijahan, karena melihat nama Pemghulu sama dengan Dalem Lebe. (SEMBAH LEBE = KEPALA PARA PENGHULU).

Mungkin Nama Syekh Abdul Jalil hanyalah nama panggilan atau gelaran setelah beliau tiba di Kampung Dukuh, yang dikenal oleh masyarakat pada waktu itu. Banyak ulama/umaro beraliran thooriqoh memakai gelaran Syekh Abdul Jalil, diantaranya Siti Jenar / syekh lemah Abang / Sitibrit mendapat julukan Syekh Abdul Jallil dilain tempat, begitu juga ulama thooriqoh di Sumetera ada yang mengunakan nama-nama landihan/sebutan dengan nama Syekh Abdul Jalil contohnya : Datuk Maharaja khadi Tuan Syeikh Abdul Jalil al Mahdani di Tanjung Pauh, Jitra Kedah.

Dan makam siapakah yang ada  di bawah makam Syekh Abdul Jalil yang konon adalah Hasan dan Husein itu??? menurut penulis hanya simbolis daripada putra Siti Fatimah RA, cucu Nabi Muhanmad SAW, simbol pengagungan ahlul bait (Keturunan keluarga nabi Muhammad SAW), dan beraliran/berpaham thooriqoh daripada Sulton Aulia Syekh Abdul Qodir Al Jailani RA, sebagai Wali abdal, hingga sampai saat ini merupakan puncak sanad/nasabnya dari semua aliran-cabang thooriqoh setelah Sayyidina Ali Ra dan Sayyidina Abu Bakar RA hingga ke Rosulullah SAW dan melihat Agama Islam Sufiesme yang berkembang di Indonrsia pun, merupakan perpaduan antara syiah dan mahzab Imam Syafii.


Begitu juga  kerabat di Kanpung Dukuh pun tak dapat menjelaskan makam siapakah Hasan dan Husen atau keturunannya merundaykan siapa???

Demikian juga bila dilihat alur perjalanan Syekh Abdul Jalil, tak mungkin Syekh Abdul Jalil bertandang dulu ke Kampung Dukuh tanpa sebab, kalau bukan untuk mengunjungi ayah kandungnya Raden Warta Kusumah yang kemungkinan dikenal nama Syekh Abdul Jalil di tempat tersebut.

Demikian juga ketika ajaran Syekh Abdul Jalil di Kampung Dukuh ditinggalkan karena bernasab thooriqoh, diantaranya menghormati ahlul bait (keturunan nabi Muhammad SAW), bukan Mahzab Syiah, penempatan Ahlul bait menjadi salah kafrah setiap orang keturunan arab yang datang ketempat Kampung Dukuh selalu dihormati dan diagung-agungkan padahal belum tentu bernasab/bersanad hingga ke Rosulullooh SAW, tanpa cek & ricek kebenarannya.

Artinya Bait/Bayt artinya  buyut/kabuyutan ahiii..hii..hii ceuk urang sunda mah.




3. ADA KENASABAN KELUARGA PESANTREN GENTUR CIANJUR DENGAN MAKAM KAROMAH SYEKH ABDUL JALIL KAMPUNG DUKUH

Ahmad Syathibi al-Qonturi Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro Asy-Syaikh Ahmad Syathibi bin Muhammad Sa'id Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi Asy-Syafi'i‎, lahir di Cianjur, Hindia Belanda, sekitar tanggal 12-18 tanpa diketahui secara pasti bulan dan tahun kelahirannya - meninggal di Cianjur, Indonesia pada Rabu 14 Jumadil Akhir 1365 Hijriyah, tanggal 15 Mei 1946) atau lebih dikenal dengan Mama Gentur adalah salah satu sosok ulama Tatar Pasundan yang bergelar Al-Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Wara.

Kakak kandungnya antara lain Hajjah Ruqiyah (pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur), Mama Hajji Ilyas (alias Mama Hajji Yahya, pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi), dan adik kandung yakni Mama Hajji Muhammad Qurthubi (alias Mama Gentur Kidul, pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur).

Putra - putra Mama Ajengan Gentur antara lain: Mama Haji Hidayatullah (Aang Baden), Mama Haji Rohmatullah (Aang Eyeh), Mama Haji Hasbullah (Aang Abun), Mama Haji Abdul Haq Nuh (Aang Nuh), Hajjah Siti Aminah (Ibu Hajjah Mas Noneh), Hajjah Mas Ucu Qoni'ah, dan semua putranya menjadi Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.

Konon salah satu putranya yaitu Mama Haji Abdul Haq Nuh alias Mama Aang Nuh Gentur merupakan sosok ulama tanah pasundan yang al-alim al-alamah al-kamilil-wara secara rutin sering berziarah ke makam karomah kampung dukuh Syekh Abdul Jalil.

Menurut yang diyakini oleh Mama Aang Nuh Gentur bahwa Syekh Abdul Jalil adalah eyangnya yang tiada lain adalah ayahanda Syekh Abdul Muhyi yakni Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah.

Nasab silsilah Mama Aang Nuh Gentur sebagai berikut :
Ayahnya : Mama Haji Ahmad Syathibi (Gentur, Warungkondang, Cianjur)
Kakeknya : Mama Haji Muhammad Sa'id (Gentur, Warungkondang, Cianjur)
Buyutnya : Mama Haji Abdul Qodir (Ciawi, Ciawi, Tasikmalaya)
Baonya : Syekh Nur Hajid (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya)
Jangawarengnya : Syekh Nur Katim (Seulakopi, Cianjur)
Udeg Udegnya : Syekh Dalem Bojong (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya)
Kakait Siwurnya : Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya) bin Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah alias Syekh Abdul Jalil (Makam Karomah Kampung Dukuh, Cikelet, Garut Selatan).

Dengan adanya keterangan tentang adanya hubungan kenasaban antara pesantren Gentur Cianjur dengan Kampung Dukuh ini, maka semakin menambah keyakinan bahwa Syekh Abdul Jalil itu merupakan nama lain dari ayahandanya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya yakni Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah.


Wallahu alam biroomudih

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat, bagi para pembaca yang mencari sejarah tentang Syekh Abdul Jalil Kampung Dukuh Kecamatan Cikelet Pameungpeuk Garut Selatan.
aamiin

===============================
Oleh: Oos Supyadin, penulis adalah asli turunan Dukuh, Cikelet, Garut Selatan & Dedi E Kusmayadi Soemamihardja NKSL Sumedang.

Baca Juga :

Tidak ada komentar