Sumedanglarang Mangsa Tahun 721-778 M

Terahing Raja lahir ke dunia diterangi cahaya bulan, bintang-bintang bergerlapan dilangit, dan menebar kebahagian para pengagung Tembong Agung. Buah dari lamunan Prabu Aji Putih menjadi seorang pandita ksatria, berpenampilan menarik dam penuh keberanian untuk meneruskan jejak ayahnya. 

Prabu Tajimalela bernama Brata Kusuma putra sulungnya Prabu Aji Putih dari isterinya Dewi Nawang Wulan. Jauh sebelum mengganti ayahnya menjadi Raja, Brata Kusuma meninggalkan keraton mencari ilmu, untuk jadi pemimpin di keprabuan. Di suatu ketika Brata Kusuma diperintah oleh ayahnya untuk berguru kepada seorang Resi Sakti yang tinggal di suku Gunung Cakrabuana. Setelah menjadi murid Resi Sakti diberikan ilmu lahir dan batin, lalu mewariskan ilmu tawajuh atau tapabrata di gunung selama 21 hari untuk menyempurnakan kekuatan ilmunya.


Brata Kusuma meninggalkan tempat pertapaannya untuk mendatangi gunung-gunung, yaitu Gunung penuh, Gunung Palasari, Gunung Puyuh, Gunung Merak, Gorowong, Gunung Nurmala atau Sangkanjaya, Gunung Simpay dan Gunung Lingga. Setelah melaksanakan perintah gurunya lalu pulang ke karaton Tembong Agung. Di kala cahaya terang bulan Brata Kusuma diistrenan menjadi pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelarnya Prabu Tajimalela. 

Sesudah menjadi Raja, Brata Kusuma lalu menikah dengan Dewi Mayakasih atau yang disebut juga Gandrunia atau Rangga Wulung terah Raja Saunggalah, dan melahirkan ;  Jayabrata atau Lembu Agung atau Peteng Aji, Atmabrata atau Gajah Agung dan Marija Jaya atau Sunan Ulun.

"Deudeug lanjeur Jaya Perang di Buana Panca Tengah, Ulun Santri Demang Raja Prabu Tajimalela nu murba di Darmaraja". Kalimat tersebut jelas dalam ilmu kedarmarajaan, tujuannya meyakinkan bahwa Prabu Tajimalela gagah sakti mandraguna tanpa tanding, tiada lawan, menguasai ilmu perang yang sudah membawa kepada kejayaan kerajaan. Raja dihormati tinggalnya di Darmaraja, dan memberi nama kerajaan yang dinamai Sumedang Larang. Asal dari kata "ingsun madangan". Ingsun artinya aku, Madang artinya padang, terang tampak. Aku menerangi kehidupan.

Oleh sebab menyebutkan Ingsun Madangan ketika bertapa di Gunung Lingga melihat cahaya bergulung-gulung seperti lingkaran berputar-putar dan di atas gunung terlihat menjadi terang, disaksikan oleh pengawalnya Darmawisesa dan Kuntawisesa lalu berkata "Ingsun madangan Larang Tapa" yang artinya Aku melihat cahaya menyinari tempat bertapa menjadi terang benderang, tandanya aku harus memberi penerangan kepada yang kegelapan. Yang disebut larang yaitu tempat yang jarang dikunjungi oleh manusia atau kemandalaan yang disakralkan oleh pahingan.


Ada yang menyebutkan, di awal pemerintahannya Prabu Tajimalela membuka pelabuhan untuk menyebrangi sungai Cimanuk di daerah Lebaksiuh. 

Aria Bimaraksa menitipkan padepokan ke putranya yaitu Astajiwa, oleh sebab diundang oleh Permana Dikusuma atau Ajar Padang, lalu Aria Bimaraksa atau Sang Resi Agung diutus menjadi Patih Kerajaan Galuh di Kawali.  Pengangkatan Permana Dikusuma oleh Raja Sanjaya tak lama, oleh sebab Permana Dikusuma terpaksa untuk menjadi Raja, bagaimanapun Raja Sanjaya adalah yang memerangi Prabu Purbasora kakeknya sebagai Raja Kerajaan Galuh ke-4 antara 716-723 masehi, dengan demikian Permana Dikusuma hanya setahun menanggalkan sebagai Raja Galuh Pakuan ke-6, antara 724-725 masehi, yang berlokasi di Ciduging Galuh Pakuan Darmaraja.  Dan Aria Bimaraksa sebagai patih kerajaan Galuh di Kawali pulang lagi ke Darmaraja, Permana Dikusuma pun selanjutnya bertapa di Gunung Padang.


Sumber dari buku sejarah, ketika Raja Sanjaya sebagai Raja yang memerintah di Kerajaan Sunda antara 723-732 masehi dan akan menguasai pandai besi yang berjumlah 800 buah di wilayah kerajaan Sunda, anaknya Tamperan atau Aria Bondan atau Rakai Panaraban resmi diserahi negara dan pemerintahan, sebagai Raja Galuh Pakuan ke-7 antara 725-739 masehi. 

Sebelum diangkat resmi menjadi Raja Galuh ke 7, karena cinta buta Tamperan dan kesepiannya Dewi Pangrenyep oleh sebab sering ditinggal bertapa oleh Permana Dikusuma, akhirnya mempunyai anak hubungan gelap yaitu Aria Banga atau Rahyang Banga, juga memicu Tamperan menjadi haus kekuasaan dengan mengutus telik sandinya untuk membunuh Permana Dikusuma di tempat pertapaannya, untuk menghilangkan jejak pembunuhan Permana Dikusuma akhirnya dibunuhnya juga telik sandi itu oleh Tamperan. Setelah meninggalnya Permana Dikusuma, Tamperan memindahkan Kerajaan Galuh di Darmaraja ke Galuh Bondan Di Kawali Ciamis, serta memboyong kedua isterinya Permana Dikusuma yaitu Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum.

Ketika isterinya Naganingrum melahirkan, Raja Bondan atau Tamperan memerintahkan patihnya untuk membuang bayi tersebut, karena bayi tersebut adalah anak Permana Dikusuma.  Sang Bayi dalam kandaga emas itu adalah Raden Jaka Suratama atau dengan nama lain Ciung Wanara.  Bayi tersebut lalu ditemukan di sungai oleh Ki Balagantrang atau Aria Bimaraksa dan Ni Balagantrang atau Dewi Komalasari, lalu menyerahkan bayi dalam kandaga emas, kepada saudaranya yaitu Prabu Tambak Wesi atau Ki Anjali, putra kedua Prabu Resi Guru Demunawan.

Prabu Tambak Wesi adalah Raja Saunggalah ke-2, masa kerajaan selama 51 tahun,  antara 797–847 Masehi, setelah perebutan tahta di kerajaan Galuh di zaman Prabu Purbasora yang diserang oleh Sanjaya dan kerajaan Saunggalah adalah kerajaan yang bebas dan tak pernah ditundukan oleh Sanjaya dan setelah lengser dari keprabuan beliau menjadi lurah Pande Domas. Tambak Wesi atau Ki Anjali  setelah  mengetahui bahwa Ciung Wanara adalah anak Permana Dikusuma dari Naga Ningrum yang masih merupakan cucunya juga, karena Prabu Tambak Wesi adalah anaknya Prabu Demunawan adiknya Prabu Purbasora, akhirnya Ciung Wanara diwarisi panday domas tersebut, dan Ciung Wanara pun menguasai teknik pembuatan senjata. 

Sumber lainnya menegaskan Prabu Tajimalela Raja Sumedanglarang ke-1 antara 721-778 sejaman dengan Ciung Wanara atau Jaka Suratama, Raja Galuh ke-8 antara 739-783 masehi yang bertahta di Karang Kamulyan Ciamis. Umurnya sepantaran tidak jauh beda dan pernah bersama, sewaktu Ciung Wanara diasuh dan di didik bersama oleh Aria Bimaraksa atau Ki Balagantrang atau Sanghyang Resi Agung sewaktu menetap di Bagala Asih Panyipuhan di Darmaraja.

Tamperan atau Aria Bondan atau Rakai Panaraban yang diserahi negara dan pemerintahan, sebagai Raja Galuh Pakuan ke-7 antara 725-739 masehi oleh orang tuanya Raja Sanjaya, pada akhirnya menimbulkan perang besar di masa Ciung Wanara yang sudah menginjak usia dewasa, oleh sebab Ciung Wanara mempunyai hak untuk meneruskan kekuasaan di Kerajaan Galuh karena garis keturunan dari Prabu Permana Dikusuma, anak ke 1 Prabu Wijaya Kusuma, Prabu Wijaya Kusuma anak pertama dari Prabu Purbasora, Prabu Purbasora anak dari Sempak Waja putra pertama Wretikandayun pendiri pertama kerajaan Galuh. Demikian juga setelah mengetahui Prabu Permana Dikusuma atau Ajar Padang ayahnya Ciung Wanara dibunuh oleh Tamperan atau Aria Bondan.

Dengan  didukung oleh pasukan bala tentara Tajimalela dari Sumedang ditambah pasukan Limbangan Garut, akhirnya  Ciung Wanara atau Jaka Suratama menjadi Raja Galuh di Karang kamulyan Kawali Ciamis dan menggulingkan kekuasaan Tamperan atau Aria Bondan sebagai Raja  ke 7 di Kerajaan Galuh antara 725-739 masehi. Dan kemudian terjadi perang besar antara Ciung Wanara dengan Arya Bangah atau Rahyang Banga anaknya Tamperan, oleh sebab Rahyang Banga meminta bantuan dari kerajaan Kalingga di Jawa Tengah.

Kita kembali ke Sejarah Sumedang, Prabu Tajimalela menikahi Dewi Mayakasih atau Dewi Rangga Wulung, dan melahirkan tiga putra, yaitu: Jayadibrata atau Prabu Lembu Agung, Atmabrata atau Prabu Gajah Agung dan Marija Jaya atau Sunan Ulun yang merupakan cikal bakal pembesar Kerajaan Sumedang Larang. Setelah memegang tampuk kerajaan yang cukup lama, Prabu Tajimalela lengser dari keprabuannya.

Dalam tahun 778 Masehi Prabu Tajimalela turun dari keprabuan dan kekuasaannya diserahkan kepada putranya Jayabrata dengan gelar Prabu Lembu Agung antara 778-839 Masehi. Selanjutnya Prabu Tajimalela menjadi resi dalam melaksanakan keresiannya menyebarkan ajaran ke setiap tempat dan menyempurnakan ilmunya di Gunung Lingga. Ketika menjadi resi menciptakan ilmu kasumedangan atau Tassawuf Kasumedangan dan putika Kasumedangan atau atikan Tata krama orang Sumedang.

Menurut cerita ketika Prabu Tajimalela menyempurnakan keilmuannya di Gunung Lingga, beliau ngahyang atau tilem jasadnya hilang tak ada bekas, Kuntawisesa menata Batu Menhir dengan tumpukan batu di petilasan moksanya untuk memperingati terhadap kejadian yang aneh dan menakjubkan atas kesempurnaan ilmunya Prabu Tajimalela ketika tapa brata telah mencapai target kesempurnaan antara hidup dan mati.

Sampai sekarang Gunung Lingga sering dikunjungi oleh orang banyak untuk berdua, riyadoh atau tawassulan. Banyak yang mengatakan bahwa Prabu Tajimalela seorang resi yang teruji penuh dengan keilmuan, arif dan bijaksana. 

Baca Juga :

Tidak ada komentar